Ini adalah cerita tentang 3 orang yang mengarungi jalur selatan Jawa . |
Pembuka – Bandung – Cilacap |
Hari pertama kami mengunjungi Pusat Kebudayaan Cigondewah yang terletak di Bandung dan dikelola Seniman Tisna Sanjaya. Di awal pertemuan, beliau menunjukkan “ dodol plastik “ yang terletak di dua wajan besar di depan pintu masuk. “ Dodol “ tersebut merupakan salah satu kegiatan ekonomi masyarakat yang pada akhirnya merusak lingkungan sekitar. Masyarakat mengumpulkan plastik2 kemudian membakarnya. Mereka tidak bisa menghentikan kegiatan ini karena membuat “dodol” ini sebagai cara mereka bertahan hidup.
Dahulu kala, daerah Cigondewah terkenal dengan beras hawara geulis . Hawara yang dalam bahasa sunda hawa dan geulis yang berarti cantik kini sudah tidak bisa lagi ditemukan. Dengan bertani, maka setiap masa panen masyarakat akan mengadakan berbagai ritual seperti mencintai alam dan wayang. Namun semenjak adanya kegiatan “ dodol plastik “, ritual2 tersebut menghilang karena setiap hari adalah panen. Masyarakat juga menjadi pragnatis dengan menjauhi agama Islam.
Tisna kecil dahulu kala menggunakan air sungai Cikondang yang terletak di belakang bangunan ini untuk kegiatan sehari2. Berwudhu ( bersuci ) masih sempat dia lakukan. Namun kini air sungai tersebut sudah berubah menjadi hitam. Berbagai industry yang terletak di sepanjang aliran sungai secara tidak langsung membuang membuang limbahnya ke aliran sungai, bahkan saluran air yang kecil di sekitar rumah2 juga sudah berwarna hitam. Kalau kami menyebutnya “ Kali Ciliwung masih kalah hitam ” .
Tisna bercerita, seniman sebagai kalangan berilmu seharusnya memberikan contoh namun secara tidak langsung ikut memberi andil yang buruk terhadap lingkungan. Berbagai pembangunan di daerah utara Bandung yang seharusnya menjadi daerah resapan dan filter air. Dan akhirnya , masyarakat menjadikan mereka sebagai “ panutan “ dan ikut “ merusak “ lingkungan.
Melalui advokasi , film , pameran kesenian di berbagai tempat saperti Cigondewah. Tisna optimis akan terciptanya perbaikan . Kegiatan ini juga agar masyakat tidak merasa di gurui.
Tisna sedang berusaha menjadikan Seni dan Lingkungan sebagai bagian dari mata kuliah. Kolaborasi dengan pihak lain seperti kampus dan seniman2, sebuah kegiantan lebih dari sekedar ilmu pengetahuan saja.
Dengan adat sunda yang baik , semoga tidak menjadikan ini sebagai jalan masuk para oportunis sebagai jalan masuk untuk sesuatu yang pada akhirnya malah berakibat negative bagi masyarakat sendiri. Sehingga kearifan local ini tidak hilang.
Haiiii
Teman-teman yang mau bertanya, gabung di web baru saya aja yah :
Pingback: Traveller ( mencoba ) belajar tentang lingkungan | Wirawan Prasetyo
Pingback: Garut, Sejarah Candi Cangkuang | Wirawan Prasetyo